4.5.14

Book Review: Digital Fabrication - Lisa Iwamoto (2009)


Seperti biasa, saya akan membagikan resensi bacaan. Kali ini dari buku yang termasuk ‘pengantar’ ke dunia fabrikasi digital.

Buku ini mengklasifikasikan digital fabrication ke dalam lima kelompok, yaitu: sectioning, tessellating, folding, contouring, dan forming. Dalam penjelasannya, Lisa Iwamoto memaparkan bagaimana digital fabrication ini bekerja, mengapa arsitek menggunakannya, dan bagaimana digital fabrication dapat menghasilkan desain yang inovatif.

Digital fabrication merupakan bagian dari proses arsitektural di mana data digital digunakan untuk mengatur proses fabrikasi. Digital fabrication bergantung pada mesin-mesin yang dikontrol menggunakan computer (CAD/CAM) untuk membanggun seta memotong bagian-bagian bangunan yang akan dibangun. (Iwamoto, 2009).

Penggunaan CAD/CAM proses dalam mengembangkan dan menguji konstruktabilitas bangunan dimulai oleh kantor arsitek Frank Gehry pada pembangunan Disney’s Concert Hall tahun 1989. Proses ini bersifat iterative dan tidak linier. Kantor Gehry mengadaptasi software dari industry kedirgantaraan, CATIA, untuk membuat model eksterior bangunan tersebut (Glymph, 2003). Metode ini kemudian membuktikan bahwa tingkat kompleksitas dan keunikan bentuk tidak mempengaruhi biaya pembangunan secara signifikan.

Pasca digitalisasi, arsitek seolah-olah belajar bahasa baru: bagaimana mengoptimalkan kemampuan mesin untuk menghasilkan bentuk. Dengan terbukanya berbagai peluang desain dari meluasnya kemampuan mesin-mesin pendukung, arsitek harus membuat keputusan untuk menggabungkan metode dan alat demi mencapai maksud perancangan. Sang arsitek harus memahami bagaimana berbagai alat ini bekerja, material apa yang paling tepat, dan metode apa saja yang memungkinan untuk mencapai suatu maksud dan tujuan. Dalam digital fabrication arsitek berkutat dengan sifat tektonik susunan material, efek dari kombinasi material, atau sifat unik dan khas material tersebut. Pola yang kompleks, permainan material dan cahaya, serta pencitraan yang abstrak dapat dihasilkan melalui berbagai proses fabrikasi digital.

Sectioning


Artist space Installation
Proses sectioning intinya bukanlah membentuk permukaan, melainkan menyusun permukaan itu dari serial potongan profil horizontal dan vertical dengan interval tertentu. Melalui teknik sectioning, dapat diperoleh hasil akhir berupa permukaan dan struktur pembentuk permukaan tersebut. Metode ini sangat berhubungan dengan instruksi “loft” pada software 3D parametric seperti Rhino.

Contoh proyek yang menggunakan metode sectioning sudah ada sejak masa pra-digital. Misalnya pada kostruksi atap chapel di Roncham yang dirancang oleh Le Corbusier, design Endless House oleh Frederick Kiesler, serta Art of This Century Gallery tahun 1942.

Pasca digitalisasi, metode ini semakin berkembang. Contohnya Artist Space Installation oleh Greg Lynn, Playa Urbana oleh William Massie, dan Dunescape Installation oleh SHoP Architects. Dengan perangkat pendukung digital berupa software yang terkoneksi dengan laser cutter ataupun CNC router, penggunaan metode sectioning menjadi memungkinkan. Contoh lain yang menggunakan metode sectioning adalah Bird Nest oleh Herzog & de Meuron. Uniknya dari metode sectioning pada Bird Nest Stadium ini adalah interval yang bersifat radial dan diagonal sehingga pada strukturnya pun terdapat interseksi yang memberikan kesan visual dinamis dan unik. Selain itu setiap frame truss strukturnya saling menguatkan satu sama lain.

Tessellating


BMW Welt
Tessellation hampir sama dengan tiling (bayangkan potongan puzzle, pola lantai, atau langit-langit). Intinya adalah menggabungkan potongan-potongan untuk menghasilkan suatu permukaan. Tessellation diadaptasi dari metode mosaic di masa Byzantium, kaca patri pada arsitektur gothic, ataupun screen wall pada arsitektur Islam.

Digitalisasi menghidupkan kembali metode ini dengan mengakomodasi variasi modul yang tidak seragam. Potongan-potongan penyusun sangat mungkin memiliki variasi ukuran yang mengurut alghoritma tertentu.

Istilah tessellation atau tiling dalam perancangan digital mengacu pada pembentukan suatu permukaan (yang sering kali berupa bidang lengkung), dengan meshes poligonal. Dua cara utama untuk membentuk model digital dalam teknik tessellating adalah dengan NURBS (untuk permukaan lengkung sempurna) dan Meshes (untuk permukaan lengkung bersudut dari bentuk polygon). Contoh software untuk menghasilkan pola poligonal ini misalnya GenerativeComponents dan CATIA. Dan untuk membangunnya kedua software ini disinergikan dengan printer robotic seperti CNC router.

Proyek-proyek yang menggunakan metode tessellating adalah: The Programmed Wall oleh Gramazio and Kohler, 290 Mulbery Street oleh SHoP Architecs, BMW Welt oleh Coop Himmelb(1)au, dan West Coast Pavilion oleh Atelier Manferdini. Pada 290 Mulbery Street, New York, pola panel pada curtain wall di-generate menggunakan suatu naskah kode digital. Panel tersebut kemudian dipahat sesuai dengan rangkaian kode tersebut sehingga menghasilkan permukaan yang ‘kaya’ baik dari segi taktil maupun visual. Metode tessellating ini erat kaitannya dengan polymorphism.

Folding


 Interripples Ceiling System
Metode folding, sebagaimana terjemahannya yang berarti ‘melipat’, mengubah suatu permukaan yang tadinya hanya memiliki dua dimensi menjadi tiga dimensi. Pasca perkembangan digital, metode folding semakin bervariasi dan inovatif.

“If there is a single effect produced in the architecture of folding, it will be the ability to integrate unrelated elements within a new continuous mixture.” – Greg Lynn (1993)

Contoh proyek dengan pendekatan folding adalah Interripples Ceiling System yang dirancang oleh Haresh Lalvani dan Algorhythm Technologies. Berdasarkan perkembangan kapasitas perancangan digital dengan metode folding ini, Farshid Moussavi memperkenalkan ‘the function of ornament’. The function of ornament ini adalah kecenderungan arsitektur kepada ornament dan selubung bangunan, untuk meningkatkan kesan sensoris suatu ruang dan komunikasi abstrak bangunan tersebut terhadap pengguna (Moussavi, 2006)

Contouring


Bone Wall
Metode contouring ini artinya memahat suatu material untuk membentuk suatu permukaan. Dapat menggunakan material batu , kayu, ataupun material lain yang kompatibel dengan alat yang digunakan. Mesin pemahat yng biasa digunakan adalah CNC routers and mills, yang terhubung dengan software Mastercam, RhinoCAM, atau SURFCAM.

Pahatan yang dihasilkan bisa parallel, spiral, melengkung halus, ridged (metore terasering), ataupun sloped (terdiri dari berbagai bidang miring). Variasi pahatan ini dihasilkan dari kode digital bernama G-code yang juga mengatur kecepatan pahatan, posisi dan sudut pahatan, serta kedalaman pahatan. Kekurangan dari metode ini adalah banyaknya material yang terbuang. Oleh karena itu metode ini lebih tepat digunakan untuk mengolah material yang biasa menjadi luar biasa. Contoh proyek dengan metode ini adalah Prettygoodlife.com Showroom oleh Greg Lynn dan Bone Wall oleh Erwin Hauer.

Forming


Alice, LAXART Gallery
Forming adalah metode cetak. Inti dari metode ini adalah menggunakan media digital dan CNC router untuk menghasilkan cetakan dari bentuk akhir yang diinginkan. Material yang digunakan sebagai bahan cetak pun adalah material yang dapat dicairkan dan mengeras, misalnya akrilik. Metode cetak ini dapat menjadi alternatif untuk mengurangi bahan sisa yang terbuang dari metode contouring. Contoh proyek dengan metode ini adalah Alice, di LAXART Gallery oleh Florencia Pita.


Sekian. Semoga bermanfaat!

1 comment:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete