14.5.14

TERas #7: Textile Tectonics

Sedikit catatan tentang Textile Tectonics... terutama terkait karya-karya Lars Spuybroek.

Textile Tectonics is one usage of parametric approach in digital fabrication. Since the key of parametric design is variability, textile tectonic also has a cumulative variation in its curvature and surface (ie. variation in scale, angle, size, distance etcetera). In textile tectonics, this variability is based on interlaced curvature. (Spuybroek, 2006) Research in-depth about textile tectonics was initiated by Frei Otto and Gottfried Semper. The research then continued by Lars Spuybroek who innovates a reversal concept which is goes beyond Semper’s research.

Lars Spuybroek in the interview with Maria Ludovica Tramontin (Architectural Design, 2006) explains that textile tectonics is not about hard material mimicking softness and liquidity, but about how soft material become rigid and strong through process like weaving bundling, braiding, interlacing, knitting, and knotting.

The other point which is important in textile tectonics is morphogenesis process. In order to generate curvature-interlace surface, the material is calculated using a complex set of scalar manoeuvers. In this term Spuybroek explains that the calculation include consideration of microtectonic and macrotectonic of the edifice. With that calculation soft material such as soap film, paper, sand, and wool threads can be developed into rigid structure.

Spuybroek states that textile tectonics concern on continuity issue. The shape delivered is not a roof, wall, floor, but it is all of it altogether. It is possible because textile techniques played in the level of structure, not substructure. In his interview he imply that through textile tectonic he wants to be far away from sculpturism. He gives an example of what he categorizes as sculpturism: Gehry’s Bilbao Museum, because it hides the structure behind the panels. Spybroek calls Bilbao Museum as “hardened geometry”. 

Last point which he asserts in the interview is that textile tectonic is not an ornament. His thesis is that textile techniques use multiplicatory techniques. One generated-solution continue with other process and both gives information back and forth. There are communication on the whole part. In textile techniques the variation and generation of surface, structure, and volume has already achieved. He agrees with Samper’s concept that “textile drives everything”. 

4.5.14

Book Review: Digital Fabrication - Lisa Iwamoto (2009)


Seperti biasa, saya akan membagikan resensi bacaan. Kali ini dari buku yang termasuk ‘pengantar’ ke dunia fabrikasi digital.

Buku ini mengklasifikasikan digital fabrication ke dalam lima kelompok, yaitu: sectioning, tessellating, folding, contouring, dan forming. Dalam penjelasannya, Lisa Iwamoto memaparkan bagaimana digital fabrication ini bekerja, mengapa arsitek menggunakannya, dan bagaimana digital fabrication dapat menghasilkan desain yang inovatif.

Digital fabrication merupakan bagian dari proses arsitektural di mana data digital digunakan untuk mengatur proses fabrikasi. Digital fabrication bergantung pada mesin-mesin yang dikontrol menggunakan computer (CAD/CAM) untuk membanggun seta memotong bagian-bagian bangunan yang akan dibangun. (Iwamoto, 2009).

Penggunaan CAD/CAM proses dalam mengembangkan dan menguji konstruktabilitas bangunan dimulai oleh kantor arsitek Frank Gehry pada pembangunan Disney’s Concert Hall tahun 1989. Proses ini bersifat iterative dan tidak linier. Kantor Gehry mengadaptasi software dari industry kedirgantaraan, CATIA, untuk membuat model eksterior bangunan tersebut (Glymph, 2003). Metode ini kemudian membuktikan bahwa tingkat kompleksitas dan keunikan bentuk tidak mempengaruhi biaya pembangunan secara signifikan.

Pasca digitalisasi, arsitek seolah-olah belajar bahasa baru: bagaimana mengoptimalkan kemampuan mesin untuk menghasilkan bentuk. Dengan terbukanya berbagai peluang desain dari meluasnya kemampuan mesin-mesin pendukung, arsitek harus membuat keputusan untuk menggabungkan metode dan alat demi mencapai maksud perancangan. Sang arsitek harus memahami bagaimana berbagai alat ini bekerja, material apa yang paling tepat, dan metode apa saja yang memungkinan untuk mencapai suatu maksud dan tujuan. Dalam digital fabrication arsitek berkutat dengan sifat tektonik susunan material, efek dari kombinasi material, atau sifat unik dan khas material tersebut. Pola yang kompleks, permainan material dan cahaya, serta pencitraan yang abstrak dapat dihasilkan melalui berbagai proses fabrikasi digital.

Sectioning


Artist space Installation
Proses sectioning intinya bukanlah membentuk permukaan, melainkan menyusun permukaan itu dari serial potongan profil horizontal dan vertical dengan interval tertentu. Melalui teknik sectioning, dapat diperoleh hasil akhir berupa permukaan dan struktur pembentuk permukaan tersebut. Metode ini sangat berhubungan dengan instruksi “loft” pada software 3D parametric seperti Rhino.

Contoh proyek yang menggunakan metode sectioning sudah ada sejak masa pra-digital. Misalnya pada kostruksi atap chapel di Roncham yang dirancang oleh Le Corbusier, design Endless House oleh Frederick Kiesler, serta Art of This Century Gallery tahun 1942.

Pasca digitalisasi, metode ini semakin berkembang. Contohnya Artist Space Installation oleh Greg Lynn, Playa Urbana oleh William Massie, dan Dunescape Installation oleh SHoP Architects. Dengan perangkat pendukung digital berupa software yang terkoneksi dengan laser cutter ataupun CNC router, penggunaan metode sectioning menjadi memungkinkan. Contoh lain yang menggunakan metode sectioning adalah Bird Nest oleh Herzog & de Meuron. Uniknya dari metode sectioning pada Bird Nest Stadium ini adalah interval yang bersifat radial dan diagonal sehingga pada strukturnya pun terdapat interseksi yang memberikan kesan visual dinamis dan unik. Selain itu setiap frame truss strukturnya saling menguatkan satu sama lain.

Tessellating


BMW Welt
Tessellation hampir sama dengan tiling (bayangkan potongan puzzle, pola lantai, atau langit-langit). Intinya adalah menggabungkan potongan-potongan untuk menghasilkan suatu permukaan. Tessellation diadaptasi dari metode mosaic di masa Byzantium, kaca patri pada arsitektur gothic, ataupun screen wall pada arsitektur Islam.

Digitalisasi menghidupkan kembali metode ini dengan mengakomodasi variasi modul yang tidak seragam. Potongan-potongan penyusun sangat mungkin memiliki variasi ukuran yang mengurut alghoritma tertentu.

Istilah tessellation atau tiling dalam perancangan digital mengacu pada pembentukan suatu permukaan (yang sering kali berupa bidang lengkung), dengan meshes poligonal. Dua cara utama untuk membentuk model digital dalam teknik tessellating adalah dengan NURBS (untuk permukaan lengkung sempurna) dan Meshes (untuk permukaan lengkung bersudut dari bentuk polygon). Contoh software untuk menghasilkan pola poligonal ini misalnya GenerativeComponents dan CATIA. Dan untuk membangunnya kedua software ini disinergikan dengan printer robotic seperti CNC router.

Proyek-proyek yang menggunakan metode tessellating adalah: The Programmed Wall oleh Gramazio and Kohler, 290 Mulbery Street oleh SHoP Architecs, BMW Welt oleh Coop Himmelb(1)au, dan West Coast Pavilion oleh Atelier Manferdini. Pada 290 Mulbery Street, New York, pola panel pada curtain wall di-generate menggunakan suatu naskah kode digital. Panel tersebut kemudian dipahat sesuai dengan rangkaian kode tersebut sehingga menghasilkan permukaan yang ‘kaya’ baik dari segi taktil maupun visual. Metode tessellating ini erat kaitannya dengan polymorphism.

Folding


 Interripples Ceiling System
Metode folding, sebagaimana terjemahannya yang berarti ‘melipat’, mengubah suatu permukaan yang tadinya hanya memiliki dua dimensi menjadi tiga dimensi. Pasca perkembangan digital, metode folding semakin bervariasi dan inovatif.

“If there is a single effect produced in the architecture of folding, it will be the ability to integrate unrelated elements within a new continuous mixture.” – Greg Lynn (1993)

Contoh proyek dengan pendekatan folding adalah Interripples Ceiling System yang dirancang oleh Haresh Lalvani dan Algorhythm Technologies. Berdasarkan perkembangan kapasitas perancangan digital dengan metode folding ini, Farshid Moussavi memperkenalkan ‘the function of ornament’. The function of ornament ini adalah kecenderungan arsitektur kepada ornament dan selubung bangunan, untuk meningkatkan kesan sensoris suatu ruang dan komunikasi abstrak bangunan tersebut terhadap pengguna (Moussavi, 2006)

Contouring


Bone Wall
Metode contouring ini artinya memahat suatu material untuk membentuk suatu permukaan. Dapat menggunakan material batu , kayu, ataupun material lain yang kompatibel dengan alat yang digunakan. Mesin pemahat yng biasa digunakan adalah CNC routers and mills, yang terhubung dengan software Mastercam, RhinoCAM, atau SURFCAM.

Pahatan yang dihasilkan bisa parallel, spiral, melengkung halus, ridged (metore terasering), ataupun sloped (terdiri dari berbagai bidang miring). Variasi pahatan ini dihasilkan dari kode digital bernama G-code yang juga mengatur kecepatan pahatan, posisi dan sudut pahatan, serta kedalaman pahatan. Kekurangan dari metode ini adalah banyaknya material yang terbuang. Oleh karena itu metode ini lebih tepat digunakan untuk mengolah material yang biasa menjadi luar biasa. Contoh proyek dengan metode ini adalah Prettygoodlife.com Showroom oleh Greg Lynn dan Bone Wall oleh Erwin Hauer.

Forming


Alice, LAXART Gallery
Forming adalah metode cetak. Inti dari metode ini adalah menggunakan media digital dan CNC router untuk menghasilkan cetakan dari bentuk akhir yang diinginkan. Material yang digunakan sebagai bahan cetak pun adalah material yang dapat dicairkan dan mengeras, misalnya akrilik. Metode cetak ini dapat menjadi alternatif untuk mengurangi bahan sisa yang terbuang dari metode contouring. Contoh proyek dengan metode ini adalah Alice, di LAXART Gallery oleh Florencia Pita.


Sekian. Semoga bermanfaat!